Rabu, 19 Oktober 2011



ARTI PENTING BULAN RAMADLAN BAGI PARTAI DEMOKRAT
Oleh : Mi’rojul Huda
REPOT, Seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Itulah analogi dari kelompok – kelompok baik besar maupun kecil, partai maupun non Partai, yang sedang sibuk mencitrakan dirinya dan kelompoknya.
Momentum bulan Ramadlan seperti ini dijadikan moment yang sangat pas, untuk mendongkrak popularitas dan simpati masyarakat.  Terutama partai politik.
Sejak  awal bulan ramadlan sudah bermunculan iklan – iklan pencitraan dari Partai politik, baik melalui media cetak maupun elektronik. Semua mengiklankan terkait bulan ramadlan. Terkadang iklan berupa pesan singkat tetapi gambar tokoh partai sangat besar. Sebisa mungkin momentum bulan ramadlan dimanfaatkan untuk menarik simpati masyarakat demi kepentingan partai kedepannya.
Tidak hanya melalui iklan – iklan media, mereka juga terjun langsung ke lapangan dengan tema – tema yang memanfaatkan datangnya bulan yang penuh rahmat ini. Setidaknya itu yang penulis amati di sekitar wilayah Mojokerto tempat kelahiran penulis.
Salah satu yang penulis amati yaitu berdirinya Posko Relawan Majapahit Brawijaya (RMB) yang merupakan inisiasi dari Partai Demokrat. Posko yang sudah berdiri dari tanggal 23 Agustus ini memfokuskan diri untuk membantu masyarakat dengan terjun langsung ke lapangan. Ahmad Zainuri yang merupakan Anggota tim RMB menilai bahwa terjun langsung ke masyarakat secara langsung menjadi sangat penting terutama di bulan yang suci ini. “Kami akan membuka posko ini sampai H + 7 lebaran”. Tutur Zainur sapaan akrab Ahmad Zainuri dengan bersemangat saat penulis temui di posko RMB pada siang hari Minggu (18/08/2011).
Tidak hanya satu posko yang berdiri, saat ini sudah ada 3 posko yang sudah berdiri di kabupaten maupun kota mojokerto. “Saat ini kami fokus di pelayanan mudik masyarakat sampai lebaran”. Sambung beliau sambil mengipas – ngipas udara di sekitarnya dengan koran yang beliau pegang, karena cuaca yang sangat panas di bulan ramadlan. Selanjutnya 7 hari paskah lebaran, tim RMB akan fokus di Daerah pariwisata Pacet Mojokerto. Karena dimungkinkan akan banyak masyarakat yang berwisata ke sana. Setidaknya menilik pengalaman dari beberapa anggota RMB tahun kemarin.
Penulis Juga berkesempatan mewawancarai Sekretaris DPC Partai Demokrat Kabupaten Mojokerto yang kebetulan sedang mengunjungi Posko RMB di daerah Kota mojokerto. Mas Bagio begitu panggilan akrab beliau menjelaskan bahwa pendirian RMB merupakan program dari DPC Partai demokrat Kabupaten Mojokerto. RMB yang berdiri tanggal 12 April 2011 menjadi semacam Underbow Partai dalam hal sosial. “Kami sengaja tidak memakai nama Partai dalam hal ini (Kegiatan sosial) supaya tidak terlalu vulgar di mata masyarakat”. Tutur beliau yang berperawakan sedang dengan wajah kalem.
Kegiatan Posko pelayanan masyarakat merupakan program pertama dari RMB ini baru ada di Wilayah Mojokerto karena inisiasi langsung dari DPC Demokrat Kabupaten Mojokerto, dan rencananya akan di perlebar sampai wilayah Jawa Timur. Meskipun masih berdiri tiga posko di wilayah mojokerto, tetapi posko sudah dilengkapi jaringan komunikasi yang mencakup wilayah Jatim dan bisa berkoordinasi dengan baik dengan DPC – DPC di wilayah Jawa Timur.
Kegiatan Kemausiaan dan sosial tidak hanya berhenti paskah lebaran ini tetapi akan dilaksanakan RMB secara berkala dan terprogram dengan baik. “Kami tidak seperti partai lain yang menunggu momentum, tetapi kami akan melakukan program dan monitoring secara berkala minimal Tri wulanan”. Sambung beliau dengan suara agak kering dan pelan.
Momentun Bulan yang penuh rahmad ini benar – benar di manfaatkaan oleh partai Demokrat untuk beribadah dan beramal dengan cara yang berbeda dari tahun – tahun sebelumnya. (*)
Penulis adalah Mahasiswa FISIP UB,
jurusan Ilmu Politik.

Sabtu, 08 Oktober 2011


GUS DUR VS CAK NUR



Analisis Pemikiran
Adurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid
“ Islamisasi Vs Pribumisasi  dalam kajian islam dan Indonesia”

Latar Belakang

Dalam beberapa dekade terakhir ini, muncul dua orang sosok pemikir kontemporer yang sangat berpengaruh terhadap khazanah keilmuan khususnya dalam keilmuan islam dan sosial di Indonesia, kedua tokoh ini terlahir di kota yang sama meskipun dari latar belakang yang berbeda. Kedua tokoh itu adalah, Abdurrahman Wahid (GUS DUR), dan Nurcholis Madjid (CAK NUR).
Kedua tokoh ini sama – sama dilahirkan dalam lingkungan islam, dan keduanya dari kecil sudah mendalami agama di pondok pesantren. Tetapi meskipun dilahirkan di kota yang sama dan sama – sama mendalami tentang islam, tetapi dalam diskursus pemikiran, baik Gus Dur ataupun Cak Nur mempunyai pemikiran yang berbeda dalam hal islam dan Negara.
Abdurrahman Wahid memandang islam dan Indonesia harus bisa beralkulturasi sehingga nilai – nilai yang di bawah oleh islam bisa masuk kedalam budaya indonesia sehingga terjadilah yang namanya islam Indonesia (Pribumisasi). Sedangkan Cak Nur menganggap bahwa Agama dan Negara adalam satu dan tidak terpisahkan, beliau sering merujuk pada kejayaan islam masa lalu pada zaman Nabi dan Sahabat – sahabat, sehingga beliau menawarkan konsep Islamisasi sebagai the will to power.
Dari kedua pemikiran tokoh inilah lahir perdebatan – perdebatan panjang dan membingungkan. Pemikiran kedua tokoh ini juga banyak mempengaruhi perpolitikan di Indonesia dengan ideologi pancasilanya. Sehingga layaklah penulis membahas dan mengupas serta membandingkan kedua pemikiran tokoh tersebut.

Tinjauan Teoritis
Acuan teori
Kajian ini membahas tentang fenomena pembaharuan islam dari pemikiran tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia. dan kami mengkaji dari sudut pandang sosiologis. Dengan Teori political process (proses politik) yang digagas oleh Doug Mc Adam dan teori Aktor jaringan.
Kajian proses politik ini menekankan pada personal atau lembaga sebagai agen pemberdayaan atau sebagai gerakan sosial (social movement). Sedangkan teori aktor jaringan menekankan pada objek material yang diciptakan dan kemudian memperoleh makna dalam kaitannya dengan objek yang lain.
Keberadaan gerakan pembaharu selalu berupaya menentang institusi dominan dan berupaya mengusulkan aturan – aturan struktur – struktur alternatif kearah alam yang demokratis. (Ali : 2007). Landasan gerakan sosial ini menempatkan agama dalam pengertian konstruksi realita sosial yang dapat membawa kepada kesadaran kritis terhadap realita sosial di mana agama tidak dipahami sebagai dogma semata yang hanya dikaji sebagai wahyu belaka, tetapi agama harus dipahami sebagai energi untuk membuat suatu perubahan.
 Masa kecil Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang. Beliau merupakan anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya K.H Abdul Wahid Hasyim. merupakan putra dari K.H Hasyim Asy’ari pendiri pondok pesantren Tebuireng dan pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Gus Dur dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang bernama Ny Hj Sholehah, juga putri tokoh besar NU K.H Bisri Syansuri. Dengan demikian secara genetik Gus Dur memang keturunan darah biru. Dalam istilahnya Clifford Geertz, ia termasuk golongan seorang santri dan priyayi sekaligus (Incres : 2000).
Meskipun Gus Dur termasuk keturunan ningrat, tetapi dalam kehidupannya ia tidak pernah bergaya layaknya seorang bangsawan. Beliau berproses layaknya masyarakat biasa. Gus Dur nyantri dan belajar agama pada kakeknya sendiri di Pondok pesantren  tebuireng Jombang.
Pada tahun 1950, lima tahun setelah indonesia merdeka, ayah Beliau K.H Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Agama, beliau dan keluarga terpaksa pindah ke Jakarta. Dan menyelesaikan pendidikan dasar di sana. Kemudian melanjutkan ke SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama) di tanah abang  Jakarta, setahun kemudian dia pindah ke Yogyakarta dan beliau nyantri di pondok pesantren Krapyak, asuhan K.H Ali Maksum.
Sejak di Jakarta dan di Yogyakarta Gus Dur gemar sekali membaca, bahkan buku – buku yang beliau baca seakan tidak wajar bagi anak seusianya. Buku – buku yang beliau baca ketika dia berusia 15 tahun diantaranya, Das Kapital karya Marx, Buku filsafat plato, Thalles, novel – novel karya william Bochner, dan Romantisme Revolusioner karya Lenin Vladimir Iiych (Incres : 2000).
Pada tahun 1959 K.H Abdul Fatah Hasyim, pamannya meminta Gus Dur (usia 19 tahun) membantu mengurusi Sekolah Mu’alimat di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Dia diangkat menjadi sekretaris Pondok Pesantren. Di pondok pesantren inilah beliau jatuh hati pada seorang muridnya yang sekarang menjadi istrinya Siti Nuriyah.
Pada usia 22 tahun Gus Dur berhasil menamatkan beberapa kitab standart Mu’tabarah pondok pesantren. Pada tahun itu beliau menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studinya di timur tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan studi di Al – Azhar Islamic University Mesir dan mengambil konsentrasi Department of Higer Islamic and Arabic.
Karena merasa tidak berkembang di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk pindah ke Irak. Pada tahun 1966 dalam usia 26 tahun Gus Dur masuk ke dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad Irak. Sebuah negara modern yang memiliki sejarah dan peradaban islam yang cukup maju.
Beliau menyelesaikan studinya di Bagdad pada tahun 1970, kemudian dia mempunyai cita – cita untuk melanjutkan studinya di Eropa, tetapi harapan itu pupus karena kualifikasi – kualifikasi untuk mendaftar di Universitas Eropa begitu ketat. Dan akhirnya Gus Dur hanya menuntut ilmu keliling dari universitas satu ke universitas yang lain. Beliau sempat tinggal di Belanda selama 6 bulan dan mendirikan perkumpulan pelajar muslim indonesia dan malaysia yang tinggal di Eropa dan organisasi ini masih ada sampai sekarang.
Perjalanan panjang Gus Dur di Luar negeri berakhir pada juni tahun 1971, ketika ia harus kembali ke Ibu pertiwi dan mengabdi di Pondok Pesantren di mana beliau di asuh dan dibesarkan.
Masa kecil Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir di Jombang pada tanggal 17 Maret 1938, Beliau lahir dari keluarga pesantren. Pendidikan yang ditempuh beliau adalah sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari dan Madrasah ibtidaiyah di Mojoanyar pada sore harinya. Beliau juga nyantri di pondok pesantren Darul Ulum di Rejoso Jombang. Kemudian melanjutkan pendidikan di pondok pesantren modern Darus Salam di Gontor Ponorogo. Kemudian melanjutkan studi ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian melanjutkan ke Universitas Chicago, Illinois, AS selama enam tahun. Disana dia membuat judul disertasinya “Ibn Taymmiya on Kalam and Falsafa”.
Sebelum ke Amerika, Cak Nur sudah dikenal sebagai tokoh pembaru islam. Hukum – hukum islam seperti Fiqih, akidah, dan tasawuf, sebagai landasan berfikir umat islam sudah tidak lagi relevan. Hukum  fikih sudah tidak lagi relevan dan perlu adanya perubahan terhadap tantangan zaman.
Beliau sangat mencita – citakan Negara pancasila secarah utuh, dia ingin menjadikan Negara Indonesia seperti kejayaan islam di Masa lalu, di mana tercipa suatu kemodernan dan kemajuan ilmu pengetahuan .
2.2  Landasan Berfikir
Landasan berfikir ini menggambarkan secara alalitis tentang konsep kedua pemikir ini yaitu Abdurrahman Wahid dengan Nurcholis Madjid dalam mengkaji masalah Pribumisasi dan Islamisasi dalam konteks islam dan negara.

Pribumisasi Gus Dur
Gagasan pribumisasi islam pertama kali dijelaskan oleh Gus Dur ketika beliau baru terpilih menjadi ketua umum PBNU, pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo. Konsep Pribumisasi beliau ambil dari konsep Wali Songo ketika menyebarkan islam di pulau jawa. Dengan langkah pribumisasi, wali songo terbukti berhasil mengislamkan tanah Jawa tanpa harus menghilangkan kearifan lokal yang ada, sehingga budaya lokal tetap dilestarikan.
Gagasan Pribumisasi islam dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problem yang dihadapi umat islam sepanjang sejarahnya, yaitu bagaimana mempertemukan budaya (adah) dengan norma (syari’ah) sebagaimana juga menjadi persoalan dalam usul al-fiqh (Incres : 2000). Agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda yang mempunyai independensi sendiri – sendiri, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Pribumisasi islam menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum – hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Pribumisasi islam bukan suatu upaya meniggalkan norma demi budaya, tetapi  agar norma – norma itu menampung kebutuhan – kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul al – fiqh dan qawa’idul fiqh. (Incres : 2000). Di sini Gus Dur memandang bahwa sesuatu harus dipahami bukan hanya secara tekstual saja tapi juga mempertimbangkan faktor – faktor konstektual yang ada.
Dalam prosen Pribumisasi ini, pembauran islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, Islam harus tetap dengan islamya dan Indonesia harus tetap dengan Nuansa Indonesianya. Sebab apabila berbaur berarti hilangnya sifat – sifat asli dari masing -  masing.
Menurutnya juga, ”islam haruslah ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apapun bentuk masyarakat yang digunakan” entah itu masyarakat islam atau bukan. (Baso : 2006). Gus Dur tidak menjadikan islam sebagai jalan alternatif dalam bermasyarakat. Gus dur lebih menekankan pada penggokohan nilai – nilai budaya lokal, dengan tetap menciptakan masyarakat yang taat beragama. Sebagai konsekuensinya ajaran islam yang telah diserap oleh masyarakat lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitasnya tanpa terjadi yang namanya pembauran.

Islamisasi Cak Nur

“sejak semula islam adalah agama para penguasa atau agama yang mempunyai kekuasaan” (Nurcholis Madjid).

Indikasi konsep Islamisasi pertama kali muncul, ditemukan pada Kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ke – 9 tahun 1969 di Malang yang mengukuhkan dokumen resmi HMI yang di sebut Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP). Naskah awal ini disusun oleh Nurcholis Madjid dan kemudian di sempurnakan Endang Saifullah Anshari dan Sakib Mahmud sebelum akhirnya disahkan dalam forum tertinggi HMI tersebut. Beliau menulis demikian :
“hubungan yang benar antara manusia dengan alam sekelilingnya ialah hubungan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat, guna dapat mengarahkannya pada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum – hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas dan rasio... menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah – kaidah umumnya dan membimbingnya ke arah kemajuan dan perbaikan.” (NDP HMI dalam Baso : 2006).

            Dari cuplikan NDP diatas kita dapat mengetahui, ada dua kata kunci yaitu menguasai dan mengarahkan. Dimana akan terdapat diferensiasi, marginalisasi, dan dominasi. Penonjolan keislaman merupakan penonjolan nasional.
            Mengutip dari tulisan beliau dalam (Islam doktrin dan peradaban hal : cxiv cet tahun 2008). Dalam islam agama dan negara tidak terpisahkan namun tidak berarti bahwa antara keduanya itu identik. Karena itu agama dan negara dalam islam meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan  : tidak terpisah namun berbeda. Artinya Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara. Juga bukan negara teokrasi yang dipimpin oleh rohaniawan.



FENOMENA KEKALAHAN INCUMBENT DALAM PEMILUKADA DI MOJOKERTO


    Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih dalam sebuah proses demokratisasi. Proses Demokratisasi di Indonesia lahir setelah runtuhnya rezim Orde baru di bawah kekuasaan Soeharto yang sangat otoriter dan menutup semua akses masyarakat untuk berdemokrasi secara langsung dan dalam arti yang sebenar- benarnya. Demokrasi di Indonesia selalu direpresentasikan melalui sebuah bentuk Pemilihan Umum yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil atau disingkat dengan LUBER- JURDIL. Pemilihan Umum memang menjadi sebuah keniscayaan dalam setiap praktik ketatanegaraan yang dilandasi semangat Demokrasi, karena demokrasi yang memiliki karakteristik keterbukaan memandang bahwa kedaulatan sebuah Negara berada di tangan rakyat, tetapi pemilihan umum pun bukanlah salah satu indikator keberhasilan demokrasi di negara- negara manapun yang menganut paham demokrasi. (Budiardjo, 1972:85)
Pemilihan Umum setelah era reformasi sedikit membawa wind of change atau angin perubahan bagi Indonesia ke arah yang lebih demokratis. Keberhasilan pemilihan umum 1999 dengan sistem kepartaian yang multi partai mampu menjadi sebuah proses sosialisasi dan edukasi masyarakat terhadap apa yang dinamakan demokrasi itu. Seiring dengan periodisasi waktu yang didukung pula dengan dinamika sosial, budaya dan politik yang begitu cepat, akhirnya pemilihan umum 2004 dan 2009 mampu mewujudkan terselenggaranya pemilihan umum presiden secara langsung yang dipilih oleh rakyat. Hal inilah yang menjadikan proses demokratisasi di Indonesia sudah dapat dikatakan berada di level yang cukup tinggi meskipun masih belum didukung kesuksesan indikator- indikator lain dalam sebuah proses pencapaian demokratisasi.
Wind of change yang dibawa oleh proses demokratisasi pun akhirnya tidak hanya menjangkau tataran pemerintahan nasional saja tetapi telah menjangkau tataran pemerintahan lokal/ daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung pun menggambarkan bahwa dinamika demokrasi di Indonesia telah berhasil mengubah mindset masyarakat di seluruh Indonesia. Pemilihan Umum Kepala Daerah yang dilaksanakan secara serentak pada tahun 2010 ini melahirkan banyak sekali fenomena- fenomena menarik dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Mulai dari fenomena politik dinasti dalam Pemilukada Kabupaten Kediri, fenomena selebritis yang mengadu peruntungan di berbagai Pemilukada dan fenomena kekalahan mutlak seorang calon incumbent dalam Pemilukada di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kabupaten Mojokerto yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 2010 lalu memang menjadi sebuah pesta demokrasi di tataran lokal yang menjadi perhatian bagi perpolitikan nasional. Pasalnya, Pemilukada Mojokerto ini melahirkan sebuah konflik politis yang cukup memanas. Konflik tersebut berujung pada sebuah tindakan destruktif atau kerusuhan yang sedikit mencoreng citra pesta demokrasi di Kabupaten tersebut. Selain itu, fenomena menarik lainnya adalah partisipasi politik masyarakat dalam pemilukada Mojokerto yang tinggi mencapai 77 persen menjadi prestasi tersendiri di tengah citra pesta demokrasi yang tercoreng akibat tindakan destruktivisme (kerusuhan) yang mewarnai pelaksanaan pemilukada di Kabupaten Mojokerto tersebut (tempointeraktif.com pada senin 14 Juli 2010). Namun dari sekian fenomena di atas, salah satu fenomena yang kami anggap menarik adalah fenomena kekalahan pasangan Suwandi dan Wahyudi Iswanto (WASIS) yang notabene sebagai calon incumbent mengalami kekalahan mutlak oleh pasangan Mustafa Kemal Pasha dan Khoirun Nisa (MANIS). Fenomena kekalahan incumbent itulah yang akhirnya menuntut kita untuk melakukan penelitan serta kajian yang sangat mendalam terhadap fenomena tersebut. Pasalnya, kekuatan seorang incumbent itu senantiasa menjadi sebuah kekuatan yang tidak bisa dikalahkan oleh calon- calon lain, tetapi Pemilukada Mojokerto mampu merubah stereotype yang berkembang seperti itu. Hal itulah yang menjadi latar belakang kita untuk melakukan penelitian ini.


  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
a.       Faktor apa saja yang menjadi acuan masyarakat untuk memilih Bupati dan wakil Bupati pada Pemilukada  Mojokerto 2010 ?
b.      Bagaimana popularitas serta elektabilitas para calon Bupati dan wakil Bupati pada Pemilukada Mojokerto 2010 di mata masyarakat ?
c.       Komponen apa saja yang paling mempengaruhi kekalahan incumbent pada Pemilukada Mojokerto 2010 ?
 
 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Mengetahui faktor apa saja yang menjadi acuan masyarakat untuk memilih Bupati dan wakil Bupati di Mojokerto.
b.      Mengetahui tingkat popularitas dan elektabilitas para calon Bupati dan wakil Bupati di mata masyarakat Mojokerto.
c.       Mengetahui komponen apa saja yang mempengaruhi kekalahan incumbent dalam Pemilukada Mojokerto 2010.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi tentang relevansi teori incumbent dengan realita yang terjadi di masyarakat, khususnya Indonesia. Dengan fakta kekalahan  calon incumbent pada Pemilukada Mojokerto 2010  diharapkan akan semakin menambah informasi tentang kenyataan di lapangan bahwa calon incumbent tidaklah selalu mampu memenangkan pemilu dan dari penelitian inilah dapat dijelaskan faktor-faktor apa sajakah yang menentukan keberhasilan calon-calon pemimpin daerah dalam memenangkan kompetisi demokrasi tersebut sehingga hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi referensi strategi dan langkah-langkah yang harus diambil oleh calon incumbent maupun penantang untuk memenangkan pemilu. 




TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoritis
 Dalam buku The Survival Politics, dijelaskan bahwa calon incumbent dalam setiap pemilihan di Negara-negara Amerika Selatan dapat dipastikan mampu memenangkan pemilu. Faktor-faktor yang menjadi kunci kemenangan calon-calon tersebut, dalam The Survival Politics, ada 3 faktor yaitu konsistensi dalam menjaga winning coalition,  mampu menjaga kesetiaan pemilihnya serta yang terakhir memiliki komunikasi politik yang jitu. Ketiga faktor inilah yang dirasa mampu mengantarkan calon incumbent untuk  kembali di kursi kekuasaan.
Di sisi lain, sebuah riset yang dilakukan oleh the electoral research institute di Belgia pada tahun 2006 menyatakan bahwa yang menjadi kekuatan utama dalam pemenangan seorang kandidat bahkan seorang calon incumbent adalah kesolidan sebuah tim sukses (winning coalition), partisipasi politik yang berfokus pada kelompok sasaran pemilih, komunikasi politik yang cukup menarik serta peran penguasaan media dalam proses pemasaran kandidat serta pemasaran sebuah kebijakan.

Tinjauan Empiris
Setelah melihat tinjauan Teoritis dalam buku the Survival Politics dan beberapa factor yang telah dijabarkan oleh riset dari the electoral research institute di Belgia, bahwa incumbent mempunyai kecenderungan untuk menang, asalkan bisa menjaga beberapa aspek yang telah disebutkan tadi. Tetapi yang menarik dalam pemilukada di Mojokerto, Incumbent  mengalami kekalahan dalam pencalonannya kembali.
Pemilihan Umum Kepala Daerah yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 2010 lalu dan diikuti oleh tiga pasang calon yang dinyatakan lolos oleh KPU yaitu Musthofa Kemal pasha dengan Khoirun Nisa (MANIS), Suwandi dengan Wahyudi Iswanto (WASIS), dan Khoirul Badik dengan Yazid Qohar (KHOKO) . Pemilihan Umum Kepala Daerah ini sempat diwarnai aksi anarkisme dan kekerasan yang menimbulkan korban materiil akibat adanya salah satu calon yang tidak lolos verifikasi di KPU. Aksi anarkisme ini pun sedikit menciderai pesta akbar demokrasi di kabupaten Mojokerto ini. Tidak berhenti sampai di fenomena tersebut saja, yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah kekalahan mutlak sang Bupati Incumbent Suwandi. Bupati Incumbent, dikalahkan oleh lawannya. Padahal dalam survey- survey sebelumnya baik yang dilakukan oleh media lokal atau lembaga Survey, calon bupati incumbent ini memiliki tingkat elektabilitas hampir 70%  dibanding lawan -  lawannya.
Survey yang dilakukan oleh lembaga survey dan media – media lokal yang hasilnya menetapkan kemenangan bagi Incumbent, ternyata berbanding terbalik dengan realita yang terjadi saat hari H tepatnya waktu perhitungan suara. Waktu perhitungan suara di setiap TPS di Kabupaten Mojokerto, hampir semua menempatkan kemenangan bagi pasangan nomor urut satu yaitu Musthofa Kemal Pasha dan Khoirun Nisa (MANIS). Dan perhitungan di semua kecamatan di Kab. Mojokerto menetapkan kemenangan bagi pasangan nomor urut satu ini.
Hasil yang dirilis KPU Kabupaten Mojokerto pada Pemilukada Kabupaten Mojokerto adalah sebagai berikut. Pasangan nomor urut 1 Mushofa kamal pasha – Khoirinnisa mendapat 65,82 %. Suwandi – Wahyudi Iswanto mendapat 32,40 %. Dan Pasangan Nomor 3 Khoirul Badik – Yazid Kohar mendapat 1, 78 %. Tentunya ini hasil yang sangat mencengangnkan bagi masyarakat Mojokerto khususnya bagi incumbent, melihat survey – survey sebelumnya yang selalu menempatkan incumbent di posisi atas dengan kemenangan diatas 50%, tetapi dalam realitanya incumbent mengalami kekalahan dengan angka yang mutlak.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian terhadap fenomena kekalahan calon incumbent dalam Pemilukada Kabupaten Mojokerto, kami menggunakan jenis penelitian secara kualitatif. Pasalnya, penelitian ini lebih didasarkan pada deskripsi kasus beserta problem- problem yang mengkonstruksi kasus tersebut. Menurut Hadari Nawawi (1987:64) metode deskriptif adalah metode penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena yang bersifat aktual pada saat penelitian dilakukan, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional dan akurat.
Dengan demikian, penelitian ini akan menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada dan mencoba menganalisa kebenaran berdasarakan data yang diperoleh dilapangan

 Lokasi Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian terhadap fenomena kekalahan calon incumbent dalam Pemilukada Kabupaten Mojokerto, kami akan melaksanakan penelitian di tiga Kecamatan yang ada di Mojokerto yakni:
  1. Kecamatan Gedeg
  2. Kecamatan Puri
  3. Kecamatan Pacet
Ketiga kecamatan tersebut kami ambil sebagai lokasi penelitian dengan mempertimbangkan beberapa faktor yakni:
  1. Partisipasi Politik di tiga kecamatan tersebut berdasar data dari KPU setempat cukup tinggi dibanding 15 kecamatan yang ada di Mojokerto
  2. Secara geografis ketiga kecamatan itu dapat menunjukkan kondisi SDM dan kondisi ekonomi masyarakat setempat yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesadaran politik seseorang.
  3. Berdasar jenis pemilih yang ada, ketiga kecamatan tersebut memiliki prosentase yang cukup tinggi terhadap pemilih pemula yang memiliki tingkat kelabilan yang cukup tinggi dalam berpolitik sehingga potensi swing voter sangat tinggi. (Hasil Survey Lembaga Survey Indonesia, 2010)
Ketiga faktor itulah yang menjadikan kami landasan untuk menentukan lokasi penelitian di tiga kecamatan tersebut.
 Teknik Penentuan Informan
Informan penelitian yang akan kami ambil dalam melakukan penelitian ini tiga macam, yaitu informan kunci  (Informan Key), informan utama dan informan tambahan. Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok terkait dengan pemilukada kabupaten Mojokerto. Seperti KPU setempat dan anggota/ ketua tim sukses  yang telah melakukan riset terhadap pemilukada tersebut.
Informan utama adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Seperti halnya masyarakat yang secara langsung melakukan kegiatan politik melalui pemilukada di kabupaten Mojokerto tersebut. Sedangkan informan tambahan adala mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti, misalnya pihak- pihak dari lembaga survey independen yang telah melakukan riset di Pemilukada Mojokerto tersebut.
  
  Teknik Pengumpulan Data
 Teknik yang kami gunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian terhadap kekalahan calon incumbent dalam pemilukada Kabupaten Mojokerto ini antara lain:
  1. Wawancara
Teknik wawancara akan kami fokuskan untuk mengetahui lebih dalam strategi dan tingkat kesolidan dari tim sukses yang ada (winning coalition). Untuk itu, kami melakukan interview dengan beberapa anggota bahkan ketua tim sukses dari pasangan calon yang menang dan kalah
Selain dengan anggota atau ketua tim sukses untuk mengetahui strategi dalam winning coalition kami juga akan melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat tentang faktor apa yang menjadi pilihannya memilih seorang pasangan calon bupati dan wakil bupati.
  1. Angket/ Kuesioner
Teknik Angket ini kamu gunakan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran pemilih dan tingkat serta arah pilihan politik masyarakat.
  1. Studi kepustakaan
Teknik studi kepustakaan ini salah satunya telah kami laksanakan untuk mengkostruksi teori yang ada di dalam buku the survival politics dan hasil riset dari the electoral research institute Belgia. Dalam melaksanakan penelitian, studi kepustakaan kami pusatkan pada data- data terkait dengan pemilukada Mojokerto dari KPU kabupaten Mojokerto dan beberapa hasil survey yang dilakukan oleh Jawa Pos, LSI dan lembaga- lembaga independen yang telah melakukan survey terkait Pemilukada tersebut.

Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang yang digunakan dalam penelitian kekalahan calon incumbent dalam pemilukada Kabupaten Mojokerto ini adalah analisa data kualitatif, yaitu analisa data terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi. Jadi teknik analisa data dilakuka dengan penyajian data, yang diperoleh melalui keterangan yang diperoleh dari informan, selanjutnya diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan

















 

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 1972. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka: Jakarta
Bueno, Bruce. ,& Smith, Alastair. 2005. The Survival Politics. (Budianto Suratno, Penerjemah). Rosdakarya: Bandung
KPU Kabupaten Mojokerto. (2010) Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Mojokerto tahun 2010/ 2015.

Lembaga Survey Indonesia. (2010) Pemilih Pemula dan Swing Vooter dalam pemilukada Mojokerto. Jakarta: Author

Partisipasi Politik dalam Pemilukada Mojokerto,
http://tempointeraktif.com (06 Oktober 2010 pukul 18.25 WIB)

The Electoral Research Institute. (2006). Electoral and Democratisations in Belgium.  Belgia: Author