Rabu, 12 Maret 2014

PUDARNYA POLITIK PATRON KYAI DI JAWA TIMUR
(Dimuat di Harian Sindo edisi 2 April 2013)

Pada pertengahan Maret yang lalu ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) merilis hasil surveynya tentang Perilaku Politik Warga NU di Jatim. Salah satu aspek yang diteliti pada survey yang dilakukan di semua kabupaten/kota di Jawa Timur ini adalah tingkat kepatuhan warga nahdliyin terhadap fatwa politik Kyai. Hasilnya, secara kumulatif sebanyak 51 persen responden mengaku masih patuh terhadap fatwa politik Kyai, dan sisanya sebanyak 49 persen responden mengaku tidak lagi mematuhi fatwa politik yang diberikan Kyai. Walaupun secara distributif masih ada beberapa daerah yang tingkat keptuhannya masih tergolong tinggi, namun hasil ini menjadi satu shock therapy bagi publik yang menganggap bahwa salah satu ciri warga nahdliyin adalah sami’na wa atho’na, terlebih ini terjadi di Jawa Timur yang merupakan gudangnya Kyai dan warga nahdliyin.

Politik patron adalah politik yang didasarkan pada hubungan keteladanan. Fenomena politik patron sebenarnya sudah sejak lama mewarnai dunia politik Indonesia. Dari zaman pra kemerdekaan hingga pasca reformasi seperti sekarang, politik patron masih menjadi warna yang unik di hampir sebagian besar wilayah Indonesia. Dengan berbagai macam jenis penyebutan, dukungan dari seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama seringkali merepresentasikan dukungan masyarakat dibawahnya. Oleh karena itu, kontestan-kontestan Pemilu seringkali lebih memilih untuk mendekati dan menjalin komunikasi dengan tokoh tersebut daripada dengan massa secara umum. Cara ini dianggap lebih efektif dan efisien, karena kontestan hanya berhadapan dengan beberapa orang saja.

Keith R. Legg (1983) memandang bahwa hubungan patron klien secara umum berkaitan dengan tiga hal, yaitu sumber daya yang timpang, hubungan yang bersifat pribadi (particularistic), dan hubungan mutualisme. Hubungan yang terbangun di atas penguasaan sumber daya yang timpang di sini bisa mencakup kekayaan, kedudukan ataupun pengaruh. Sedangkan hubungan pribadi dapat dimaknai sebagai hubungan timbal balik yang muncul atas perhatian yang diberikan oleh patron dan kapatuhan yang diberikan oleh klien. Selanjutnya, hubungan mutualisme dapat diartikan sebagai hubungan yang didasari oleh pertukaran antara patron dan klien yang saling menguntungkan. Dalam hal ini dapat berupa adanya dukungan atau kepatuhan klien karena adanya transfer pengetahuan dari patron. Dalam kultur masyarakat santri, Kyai diposisikan menjadi patron, sedangkan masyarakat sebagai klien. Proses pertukaran yang terjadi dapat berupa pengetahuan agama, tuntunan dan perlindungan yang diberikan oleh Kyai pada masyarakat. Hal ini kemudian akan dibalas dengan kepercayaan, kepatuhan, kesetiaan dan dukungan. Tuntunan hidup yang diberikan Kyai pun bersifat universal, mulai dari petunjuk menjalankan agama sesuai dengan ajaran yang diyakini kebenarannya sampai pada hubungan sosial dan politik.

Jauh sebelum survey ini dilakukan, fenomena memudarnya hubungan patron-klien ini sudah berusaha dijelaskan oleh Legg (1983). Legg mengungkapkan bahwa suatu saat hubungan antara patron dengan klien tersebut tidak akan berjalan harmonis. Hal ini lambat laun akan terjadi seiring dengan berkembangnya masyarakat ke arah modern. Masyarakat modern di sini bercirikan kemakmuran dan keadilan. Pudarnya hubungan patron klien tersebut dikarenakan tiga hal. Pertama, kemakmuran dan keadilan telah menggoyahkan kelangsungan hubungan patron klien. Kedua, lahirnya masyarakat modern menampilkan pola hubungan yang lain. Ketiga, pola perekrutan politik dalam masyarakat modern melenyapkan rangsangan untuk melakukan peranan seorang patron.

Korelasinya dengan hasil survey ini adalah terjadinya pergeseran tingkat kepatuhan di daerah-daerah yang justru dianggap sebagai daerah hijau. Dari empat kabupaten di Madura misalnya, tingkat kepatuhan terhadap Kyai di Bangkalan dan Sampang sudah sangat bergeser. Pergeseran ini dapat dinilai dari disparitas atau jarak yang ada antara nilai yang patuh dan yang tidak. Hal ini bisa dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya yaitu Pamekasan dan Sumenep, dimana disparitas nilainya masih tergolong tinggi. Fenomena ini menunjukkan sudah mulai lunturnya pengaruh Kyai dalam hal politik di dua kabupaten tersebut. Bila dikaitkan dengan faktor geografis, hal ini menjadi sangat masuk akal karena Bangkalan dan Sampang relatif lebih dekat ke Surabaya dibanding dua kabupaten lain. Kedekatan jarak geografis ini memungkinkan untuk tersebarnya pengaruh modernisasi yang ada di Surabaya ke Bangkalan dan Sampang dengan lebih cepat. Modernisasi tersebut mencakup segala hal mulai dari gaya hidup, ekonomi hingga sikap politik.

Selain di Madura, pudarnya pengaruh politik Kyai juga terjadi di beberapa daerah Tapal Kuda. Banyuwangi dan Situbondo misalnya, merupakan dua kabupaten dimana nilai kepatuhan terhadap fatwa politik Kyainya mulai menurun. Bahkan di Banyuwangi, nilai yang menunjukkan ketidakpatuhan jauh melesat diatas nilai patuhnya. Sama seperti analisa pada Bangkalan dan Sampang, kedekatan geografis antara Banyuwangi dengan Bali-lah yang dimungkinkan menjadi faktor kuat pudarnya pengaruh Kyai di Banyuwangi. Seperti efek domino, pengaruh modernisasi Bali ini kemudian juga mempengaruhi kabupaten lain yang berdekatan dengan Banyuwangi yakni Situbondo. Berbeda dengan Banyuwangi, letak geografis Situbondo dengan Bali yang tidak sedekat Banyuwangi ditambah dengan keberadaan Pondok Pesantren besar yang sudah legendaris membuat pudarya tingkat kepatuhan kepada Kyai dapat sedikit terbendung. Walaupun nilai ketidak patuhannya tetap lebih tinggi, namun rentang jarak diantaranya tidak terlalu jauh seperti di Banyuwangi.   

Analisa geografis mungkin bisa sedikit menjelaskan fenomena lunturnya pengaruh fatwa politik Kyai dalam masyarakat santri. Analisa ini ibarat kulit kupasan kulit terluar sebuah salak, dimana setelah kupasan kulit luar ini sejatinya masih ada lagi kulit ari yang juga harus dikupas agar kita bisa menikmati daging buah dengan nikmat. Analisa yang lebih dalam lagi terkait dengan perilaku dan sikap Kyai itu sendiri dalam menempatkan dirinya. Ali Maschan Moesa (2007) mengungkapkan bahwa perdebatan antara Kyai dan Politik sama halnya dengan Agama dan Politik. Apabila kita menyandingkan antara agama dan politik, maka akan ada tiga pilihan. Tiga pilihan dimaksud adalah  (1) sangat dekat atau integrated, (2) simbiotik, dan yang ketiga (3) adalah sekuler. Sekuler yakni memisahkan sama sekali antara agama dan politik. Pola hubungan yang sering digunakan adalah yang kedua, yakni simbiotik. Dalam artian, antara agama dan negara terdapat kebutuhan yang salling dan tidak dapat dipisahkan.

Sejatinya, pola hubungan simbiotik antara Kyai dan politik akan melahirkan iklim politik yang kondusif. Namun iklim yang kondusif itu akan berangsur memudar apabila terdapat kedekatan yang melebihi batas. Hal ini dikarenakan masyarakat menilai figur Kyai merupakan penerus budaya keislaman (cultural broker) bukan broker politik. Sebagai cultural broker, Kyai diharapkan mampu menjadi penyejuk panasnya iklim politik. Kyai diharapkan dapat menjadi solution giver bagi kedua atau beberapa aktor politik yang bertikai. Kyai diharapkan dapat menjadi “jujugan” ketika masyarakat mengalami kebingungan politik. Berbagai harapan terhadap Kyai ini tidak akan tercapai apabila jarak Kyai dengan politik terlalu dekat, karena masyarakat akan mempunyai penilaian lain. Penilaian yang kemudian memunculkan asumsi bahwa Kyai terlibat intrik dan konflik politik. Karena politik selalu identik dengan kekuasaan, maka Kyai dianggap ikut berburu kekuasaan sama dengan politisi-politisi yang selama ini tidak bisa dipandang sebagai pihak yang netral. Akibatnya, klien dalam hal ini masyarakat akan menyamakan kedudukan Kyai dengan politisi sehingga perlakuan istimewa terhadap Kyai tidak akan lagi diberikan.  


Penulis :
Faza Dhora Nailufar
Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang

Ketua Litbang PW ISNU Jawa Timur