GUS DUR VS CAK NUR
Analisis Pemikiran
Adurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid
“ Islamisasi Vs Pribumisasi dalam kajian islam dan Indonesia”
Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir ini, muncul dua orang sosok pemikir kontemporer yang sangat berpengaruh terhadap khazanah keilmuan khususnya dalam keilmuan islam dan sosial di Indonesia, kedua tokoh ini terlahir di kota yang sama meskipun dari latar belakang yang berbeda. Kedua tokoh itu adalah, Abdurrahman Wahid (GUS DUR), dan Nurcholis Madjid (CAK NUR).
Kedua tokoh ini sama – sama dilahirkan dalam lingkungan islam, dan keduanya dari kecil sudah mendalami agama di pondok pesantren. Tetapi meskipun dilahirkan di kota yang sama dan sama – sama mendalami tentang islam, tetapi dalam diskursus pemikiran, baik Gus Dur ataupun Cak Nur mempunyai pemikiran yang berbeda dalam hal islam dan Negara.
Abdurrahman Wahid memandang islam dan Indonesia harus bisa beralkulturasi sehingga nilai – nilai yang di bawah oleh islam bisa masuk kedalam budaya indonesia sehingga terjadilah yang namanya islam Indonesia (Pribumisasi). Sedangkan Cak Nur menganggap bahwa Agama dan Negara adalam satu dan tidak terpisahkan, beliau sering merujuk pada kejayaan islam masa lalu pada zaman Nabi dan Sahabat – sahabat, sehingga beliau menawarkan konsep Islamisasi sebagai the will to power.
Dari kedua pemikiran tokoh inilah lahir perdebatan – perdebatan panjang dan membingungkan. Pemikiran kedua tokoh ini juga banyak mempengaruhi perpolitikan di Indonesia dengan ideologi pancasilanya. Sehingga layaklah penulis membahas dan mengupas serta membandingkan kedua pemikiran tokoh tersebut.
Tinjauan Teoritis
Acuan teori
Kajian ini membahas tentang fenomena pembaharuan islam dari pemikiran tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia. dan kami mengkaji dari sudut pandang sosiologis. Dengan Teori political process (proses politik) yang digagas oleh Doug Mc Adam dan teori Aktor jaringan.
Kajian proses politik ini menekankan pada personal atau lembaga sebagai agen pemberdayaan atau sebagai gerakan sosial (social movement). Sedangkan teori aktor jaringan menekankan pada objek material yang diciptakan dan kemudian memperoleh makna dalam kaitannya dengan objek yang lain.
Keberadaan gerakan pembaharu selalu berupaya menentang institusi dominan dan berupaya mengusulkan aturan – aturan struktur – struktur alternatif kearah alam yang demokratis. (Ali : 2007). Landasan gerakan sosial ini menempatkan agama dalam pengertian konstruksi realita sosial yang dapat membawa kepada kesadaran kritis terhadap realita sosial di mana agama tidak dipahami sebagai dogma semata yang hanya dikaji sebagai wahyu belaka, tetapi agama harus dipahami sebagai energi untuk membuat suatu perubahan.
Masa kecil Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang. Beliau merupakan anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya K.H Abdul Wahid Hasyim. merupakan putra dari K.H Hasyim Asy’ari pendiri pondok pesantren Tebuireng dan pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Gus Dur dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang bernama Ny Hj Sholehah, juga putri tokoh besar NU K.H Bisri Syansuri. Dengan demikian secara genetik Gus Dur memang keturunan darah biru. Dalam istilahnya Clifford Geertz, ia termasuk golongan seorang santri dan priyayi sekaligus (Incres : 2000).
Meskipun Gus Dur termasuk keturunan ningrat, tetapi dalam kehidupannya ia tidak pernah bergaya layaknya seorang bangsawan. Beliau berproses layaknya masyarakat biasa. Gus Dur nyantri dan belajar agama pada kakeknya sendiri di Pondok pesantren tebuireng Jombang.
Pada tahun 1950, lima tahun setelah indonesia merdeka, ayah Beliau K.H Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Agama, beliau dan keluarga terpaksa pindah ke Jakarta. Dan menyelesaikan pendidikan dasar di sana. Kemudian melanjutkan ke SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama) di tanah abang Jakarta, setahun kemudian dia pindah ke Yogyakarta dan beliau nyantri di pondok pesantren Krapyak, asuhan K.H Ali Maksum.
Sejak di Jakarta dan di Yogyakarta Gus Dur gemar sekali membaca, bahkan buku – buku yang beliau baca seakan tidak wajar bagi anak seusianya. Buku – buku yang beliau baca ketika dia berusia 15 tahun diantaranya, Das Kapital karya Marx, Buku filsafat plato, Thalles, novel – novel karya william Bochner, dan Romantisme Revolusioner karya Lenin Vladimir Iiych (Incres : 2000).
Pada tahun 1959 K.H Abdul Fatah Hasyim, pamannya meminta Gus Dur (usia 19 tahun) membantu mengurusi Sekolah Mu’alimat di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Dia diangkat menjadi sekretaris Pondok Pesantren. Di pondok pesantren inilah beliau jatuh hati pada seorang muridnya yang sekarang menjadi istrinya Siti Nuriyah.
Pada usia 22 tahun Gus Dur berhasil menamatkan beberapa kitab standart Mu’tabarah pondok pesantren. Pada tahun itu beliau menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studinya di timur tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan studi di Al – Azhar Islamic University Mesir dan mengambil konsentrasi Department of Higer Islamic and Arabic.
Karena merasa tidak berkembang di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk pindah ke Irak. Pada tahun 1966 dalam usia 26 tahun Gus Dur masuk ke dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad Irak. Sebuah negara modern yang memiliki sejarah dan peradaban islam yang cukup maju.
Beliau menyelesaikan studinya di Bagdad pada tahun 1970, kemudian dia mempunyai cita – cita untuk melanjutkan studinya di Eropa, tetapi harapan itu pupus karena kualifikasi – kualifikasi untuk mendaftar di Universitas Eropa begitu ketat. Dan akhirnya Gus Dur hanya menuntut ilmu keliling dari universitas satu ke universitas yang lain. Beliau sempat tinggal di Belanda selama 6 bulan dan mendirikan perkumpulan pelajar muslim indonesia dan malaysia yang tinggal di Eropa dan organisasi ini masih ada sampai sekarang.
Perjalanan panjang Gus Dur di Luar negeri berakhir pada juni tahun 1971, ketika ia harus kembali ke Ibu pertiwi dan mengabdi di Pondok Pesantren di mana beliau di asuh dan dibesarkan.
Masa kecil Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir di Jombang pada tanggal 17 Maret 1938, Beliau lahir dari keluarga pesantren. Pendidikan yang ditempuh beliau adalah sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari dan Madrasah ibtidaiyah di Mojoanyar pada sore harinya. Beliau juga nyantri di pondok pesantren Darul Ulum di Rejoso Jombang. Kemudian melanjutkan pendidikan di pondok pesantren modern Darus Salam di Gontor Ponorogo. Kemudian melanjutkan studi ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian melanjutkan ke Universitas Chicago, Illinois, AS selama enam tahun. Disana dia membuat judul disertasinya “Ibn Taymmiya on Kalam and Falsafa”.
Sebelum ke Amerika, Cak Nur sudah dikenal sebagai tokoh pembaru islam. Hukum – hukum islam seperti Fiqih, akidah, dan tasawuf, sebagai landasan berfikir umat islam sudah tidak lagi relevan. Hukum fikih sudah tidak lagi relevan dan perlu adanya perubahan terhadap tantangan zaman.
Beliau sangat mencita – citakan Negara pancasila secarah utuh, dia ingin menjadikan Negara Indonesia seperti kejayaan islam di Masa lalu, di mana tercipa suatu kemodernan dan kemajuan ilmu pengetahuan .
2.2 Landasan Berfikir
Landasan berfikir ini menggambarkan secara alalitis tentang konsep kedua pemikir ini yaitu Abdurrahman Wahid dengan Nurcholis Madjid dalam mengkaji masalah Pribumisasi dan Islamisasi dalam konteks islam dan negara.
Pribumisasi Gus Dur
Gagasan pribumisasi islam pertama kali dijelaskan oleh Gus Dur ketika beliau baru terpilih menjadi ketua umum PBNU, pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo. Konsep Pribumisasi beliau ambil dari konsep Wali Songo ketika menyebarkan islam di pulau jawa. Dengan langkah pribumisasi, wali songo terbukti berhasil mengislamkan tanah Jawa tanpa harus menghilangkan kearifan lokal yang ada, sehingga budaya lokal tetap dilestarikan.
Gagasan Pribumisasi islam dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problem yang dihadapi umat islam sepanjang sejarahnya, yaitu bagaimana mempertemukan budaya (adah) dengan norma (syari’ah) sebagaimana juga menjadi persoalan dalam usul al-fiqh (Incres : 2000). Agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda yang mempunyai independensi sendiri – sendiri, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Pribumisasi islam menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum – hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Pribumisasi islam bukan suatu upaya meniggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma – norma itu menampung kebutuhan – kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul al – fiqh dan qawa’idul fiqh. (Incres : 2000). Di sini Gus Dur memandang bahwa sesuatu harus dipahami bukan hanya secara tekstual saja tapi juga mempertimbangkan faktor – faktor konstektual yang ada.
Dalam prosen Pribumisasi ini, pembauran islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, Islam harus tetap dengan islamya dan Indonesia harus tetap dengan Nuansa Indonesianya. Sebab apabila berbaur berarti hilangnya sifat – sifat asli dari masing - masing.
Menurutnya juga, ”islam haruslah ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apapun bentuk masyarakat yang digunakan” entah itu masyarakat islam atau bukan. (Baso : 2006). Gus Dur tidak menjadikan islam sebagai jalan alternatif dalam bermasyarakat. Gus dur lebih menekankan pada penggokohan nilai – nilai budaya lokal, dengan tetap menciptakan masyarakat yang taat beragama. Sebagai konsekuensinya ajaran islam yang telah diserap oleh masyarakat lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitasnya tanpa terjadi yang namanya pembauran.
Islamisasi Cak Nur
“sejak semula islam adalah agama para penguasa atau agama yang mempunyai kekuasaan” (Nurcholis Madjid).
Indikasi konsep Islamisasi pertama kali muncul, ditemukan pada Kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ke – 9 tahun 1969 di Malang yang mengukuhkan dokumen resmi HMI yang di sebut Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP). Naskah awal ini disusun oleh Nurcholis Madjid dan kemudian di sempurnakan Endang Saifullah Anshari dan Sakib Mahmud sebelum akhirnya disahkan dalam forum tertinggi HMI tersebut. Beliau menulis demikian :
“hubungan yang benar antara manusia dengan alam sekelilingnya ialah hubungan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat, guna dapat mengarahkannya pada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum – hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas dan rasio... menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah – kaidah umumnya dan membimbingnya ke arah kemajuan dan perbaikan.” (NDP HMI dalam Baso : 2006).
Dari cuplikan NDP diatas kita dapat mengetahui, ada dua kata kunci yaitu menguasai dan mengarahkan. Dimana akan terdapat diferensiasi, marginalisasi, dan dominasi. Penonjolan keislaman merupakan penonjolan nasional.
Mengutip dari tulisan beliau dalam (Islam doktrin dan peradaban hal : cxiv cet tahun 2008). Dalam islam agama dan negara tidak terpisahkan namun tidak berarti bahwa antara keduanya itu identik. Karena itu agama dan negara dalam islam meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan : tidak terpisah namun berbeda. Artinya Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara. Juga bukan negara teokrasi yang dipimpin oleh rohaniawan.